NASIONAL

Wakil Ketua Saldi Isra Dilaporkan ke Majelis Kehormatan MK

×

Wakil Ketua Saldi Isra Dilaporkan ke Majelis Kehormatan MK

Sebarkan artikel ini
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra. (Foto:net)

JAKARTA – Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra, dilaporkan ke Majelis Kehormatan MK karena memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan syarat batas usia capres-cawapres.

Dilansir dari CNNIndonesia.com Putusan yang dimaksud adalah Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengabulkan capres-cawapres berusia minimal 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.

Putusan itu diwarnai dissenting opinion oleh 4 hakim konstitusi, salah satunya Saldi.

“Saya melaporkan Prof Saldi Isra. Inti pelaporan karena bentuk dissenting opinion-nya tidak sesuai dengan hukum acara, dan tidak menelisik pada pokok perkara,” ujar Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Advokasi Rakyat untuk Nusantara (DPP Arun).

“Penyampaian beliau cenderung menodai dan menjatuhkan harkat martabat MK RI. Penyampaian tersebut melanggar kode etik Hakim Konstitusi. Lebih tepatnya, berpotensi pada ketidakprofesionalan hakim lain dan tendensius seolah ada permainan atas hakim lain tersebut,” jelas Bob.

Baca Juga:  Didepan Relawan, Prabowo Minta Tidak Izinkan Asing Kuasai Kekayaan Negara

Kepala Subbagian Humas MK Mutia Fria D telah mengonfirmasi laporan yang disampaikan oleh DPP Arun tersebut.

“Dari DPP Arun ( Advokasi rakyat untuk nusantara) mengirim surat ke Dewan Etik Mahkamah Konstitusi,” kata Mutia saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com, Jumat (20/10).

Selain itu, Mutia mengatakan Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia dan Komunitas Advokat Lintas Nusantara (LINTAS) juga mengirim surat ke Dewan Etik Mahkamah Konstitusi. Namun, dia belum dapat mengetahui isi surat laporan tersebut.

Putusan 90 itu berkaitan dengan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang mengatur syarat usia minimal capres-cawapres. MK mengabulkan sebagian permohonan tersebut.

Saldi menyampaikan sejumlah hal dalam dissenting opinion-nya. Salah satunya, Saldi mengaku bingung dengan putusan 90 tersebut.

“Bahwa berkaitan dengan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tersebut, saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda (dissenting opinion) ini,” jelas Saldi saat menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam sidang putusan di Gedung MKRI, Jakarta, Senin (16/10).

Baca Juga:  Jubir Tim AMIN Ungkap Kondisi Anis Dalam Keadaan Sehat Usai Kecelakaan Beruntun

Saldi mengaku baru pertama kali mengalami pengalaman aneh semenjak duduk sebagai hakim konstitusi pada 11 April 2017 lalu.

“Baru kali ini saya mengalami peristiwa “aneh” yang “luar biasa” dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar: Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat,” ungkap Saldi.

Saldi sempat menyinggung Putusan MK terkait gugatan nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023.

Dia mengatakan mahkamah secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya atau open legal policy.

Saldi mengatakan sadar atau tidak, ketiga putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang dalam hal ini DPR atau legislatif.

Baca Juga:  Bareskrim Polri Analisa Laporan Terhadap Roy Suryo

Meski mengakui Hakim MK pernah berubah pikiran, namun tak pernah secepat ini yakni dalam hitungan hari.

“Perubahan demikian tidak hanya sekadar menyampingkan putusan sebelumnya, namun didasarkan pada argumentasi yang sangat kuat setelah mendapatkan fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat,” jelas Saldi.

“Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29, 51, 55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam Putusan a quo?” kata dia.

Saldi mengatakan terdapat belasan permohonan untuk menguji batas minimal usia capres-cawapres di MK.

Adapun Perkara Nomor 29, 51, 55/PUU-XXI/2023 termasuk perkara gelombang pertama.

Dia mengatakan hanya perkara gelombang pertama ini yang diperiksa melalui sidang pleno untuk mendengar keterangan Presiden dan DPR, keterangan pihak terkait, ahli pemohon, dan juga ahli pihak terkait. (*)